Kisah Orpa Gadis Papua yang Kabur Demi mewujudkan Impian
Ist : Kisah Orpa Gadis Papua yang Kabur Demi wujudkan Impian |
Jayapura, PROPAPUA.COM- Orpa ( Orsila Murib ) untuk mengejar mimpinya. Ketika mengetahui akan dinikahkan dengan rekan ayahnya yang datang ke rumah, Orpa memutuskan kabur. Ia ingin pergi ke Wamena, menghindari pernikahan anak yang harus dilakukannya, demi melanjutkan pendidikan.
Sebagai anak yang baru lulus Sekolah Dasar (SD), Orpa mempertanyakan keputusan ayahnya yang ingin dia menikah. Alasan sang ayah, tak lain dan tak bukan adalah masalah ekonomi.
Bagi ayahnya, pendidikan bukan untuk masyarakat miskin seperti mereka. Sebab, membiayai pendidikan Orpa hanya semakin membebankan hidup. Dia pikir, dengan menikahkan Orpa pada rekannya, setidaknya ekonomi mereka akan diringankan.
Kondisi ini mencerminkan realitas di Papua yang masih sarat dengan pernikahan anak. Per 2021, Wahana Visi Indonesia (WVI) mencatat 24,71 persen pernikahan di Papua terjadi pada anak di bawah 19 tahun. Termasuk yang berusia 10 tahun. Alasannya pun serupa dengan yang ditampilkan dalam Orpa (2022), dianggap solusi atas permasalahan ekonomi.
Menikahkan anak sering dianggap orang tua sebagai jalan untuk tidak lagi bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya merawat anak, karena pasangan yang akan menanggungnya. Bahkan, orang tua melihatnya sebagai kesempatan yang menguntungkan kondisi ekonomi.
Selain merepresentasikan kenyataan tersebut, pernikahan anak dalam Orpa juga menunjukkan pemahaman segelintir masyarakat terkait pendidikan perempuan. Mereka masih menganggap, perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan lantaran pada akhirnya akan mendampingi suami.
Yang perlu diasah justru kemampuan mengurus rumah tangga–seperti melakukan pekerjaan domestik, dan mengupayakan agar pasangannya senang berada di rumah. Hal ini ditampilkan lewat percakapan Orpa dan ibunya.
Ketika berada di dapur, sang ibu menasihati Orpa untuk belajar memasak. Kata ibunya, sebagai istri, Orpa harus pintar memasak demi menyenangkan dan melayani suami. Terlebih karena suaminya sudah lelah bekerja.
“Kalau saya sudah capek kerja, saya masih harus masak?” tanya Orpa. Ia tampak keberatan dengan peran perempuan yang harus melakukan beban ganda.
Meskipun baru belasan tahun, karakter Orpa disorot sebagai anak perempuan yang mengerti haknya dan ingin memberdayakan diri. Orpa berani mengutarakan keinginannya pada ayah dan ibunya–yang kemudian dianggap melawan orang tua. Ia pun mempertanyakan, mengapa perempuan harus fokus pada urusan rumah tangga.
“Memang sudah seharusnya begitu,” jelas ibunya. Namun, jawaban itu tidak cukup bagi Orpa. Ia tidak dapat menerima realitas, yang terjadi hanya karena telah menjadi kebiasaan dan produk budaya patriarki.
Budaya patriarki ditampilkan lewat peran gender yang mendominasi, dan perempuan yang tidak memiliki pilihan atas hidupnya. Segala keputusan diambil atas kehendak laki-laki, ayah Orpa, sebagai kepala keluarga. Ketika mengetahui anaknya kabur dari rumah, ayah Orpa dan sejumlah warga kampung mencari Orpa sampai ke kota. Ayahnya berusaha agar Orpa kembali ke rumah, dan menikah dengan rekannya.
Sebelum mendukung Orpa pergi ke Wamena, ibunya pun sempat mendesak Orpa agar menikah. Dengan alasan tidak ingin mencoreng nama baik keluarga, dan pernikahan anak yang lumrah terjadi di masyarakat.
Kemudian, Orpa mengubah sisi primitif yang umumnya diceritakan sebagai ketertinggalan, menjadi kelebihan orang Papua. Salah satunya lewat adegan Orpa dan Ryan (Michael Kho)–musisi asal Jakarta yang datang ke Papua–saat mencari jalan untuk keluar dari hutan.
Mereka memperdebatkan penggunaan global positioning system (GPS) dari ponsel Ryan, atau mengikuti insting Orpa. Ryan bersikeras mengandalkan GPS, menurutnya teknologi bisa lebih dipercaya. Namun, sampai malam tiba, GPS malah membuat Ryan dan Orpa malah nyasar. Hingga akhirnya Ryan percaya pada insting Orpa yang awalnya dianggap kuno.
Begitu pula dengan pengetahuan Orpa mengenai tanaman obat yang awalnya disanggah oleh Ryan. Laki-laki itu memandang Orpa konyol, ketika memetik sejumlah daun yang bisa menyembuhkan penyakit. Namun, ketika Ryan sakit asma, dedaunan yang dipetik Orpa yang menolongnya.
Kedua adegan tersebut sekaligus mendobrak stereotip anak-anak Papua, yang biasanya digambarkan kurang berintelektual. Orpa membuktikan sisi primitif bukanlah keterbatasan maupun ketertinggalan, melainkan kelebihan yang bisa dimanfaatkan ketika sesuatu yang modern tidak dapat diandalkan.
Di samping itu, keinginan Orpa untuk melanjutkan pendidikan juga muncul dari dalam diri, bukan didorong modernisme untuk menyetarakan orang Papua dengan masyarakat Jawa–seperti dipotret film-film lainnya. Orpa mengenal kemampuannya dalam mempelajari dan memanfaatkan tanaman obat, membuatnya ingin melanjutkan pendidikan.
Bagi ayahnya, pendidikan bukan untuk masyarakat miskin seperti mereka. Sebab, membiayai pendidikan Orpa hanya semakin membebankan hidup. Dia pikir, dengan menikahkan Orpa pada rekannya, setidaknya ekonomi mereka akan diringankan.
Pada saat Nonton Flm Orpa Murib Jurnalis menilai bahwa Flm ini mengapresiasi kepada anak-anak Papua dan anak-anak Indonesia bahkan anak-anak Seluruh Dunia yang sedang berjuang untuk impiannya sehingga mereka tak sesat kehidupan perjuangan mereka supaya mereka bisa dapat hasil yang terbaik buat mereka. Flm Orpa di tayangkan pada hari Sabtu, Jayapura XXI- Studio 06 Mall Jayapura pada tanggal 17/12/2022
"Menurut Theogracia Rumansara saya senang karena kami sudah keliling Denmar, Belanda, Jogja sampai di Jakarta kita membuat Film Opra ini. karena Flm ini mengapresiasi kepada anak-anak Papua zaman sekarang,"
"Proses pembuatan Film ini sudah tiga Tahun" Oleh karena itu, saya sebagai saya sebagai sutradari saya bangga kepada Flm Orpa ini," Kata Theo
Flm ini saya bangga kepada pemain-pemain yang membuat Film ini karena Flm bermotivasi Kepada anak-anak mudah Papua sehingga mereka bisa kejar impian mereka agar anak-anak Papua tak mau dengar dari tawaran siapapun yang mereka tawarkan untuk mereka mengejarkan impian mereka. Oleh sebab itu saya minta kepada anak-anak Papua tetaplah optimis sehingga apa yang mereka impikan tercapai melalui Flm Orpa ini kata." Theo
"Saya harapkan Kepada anak-anak Papua Flm ini menjadi ter-impirasi supaya anak-anak mudah tak tersesat dalam perjuangan mereka karena Film ini menjadi wadah yang mereka kejar sampai impian mereka tercapai kemudian mereka apa yang cari bisa dapat hasil yang terbaik buat mereka dan keluarga bangsa dan Negara," harapan Hal itu diungkapkan oleh Orpa (Orsila Murib)
Hal yang sama juga Orpa katakan bahwa, "Usaha dan berdoa itu penting karena semua itu, melalui usaha dan berdoa supaya Tuhan memberikan jalan terbaik buat kita dan keluarga bahkan orang-orang yang berjuang untuk impiannya sehingga apa yang mereka usaha dan berdoa Tuhan memudahkan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan sehari-hari mereka jalani dan saya sara bangga karena semuanya dukungan berdoa keluarga dan kerabat-kerabat saya sehingga saya bisa Berjuang sampai saat ini. Agar saya dapat hasil yang terbaik buat saya dan keluarga saya, ini menjadi motivasi buat anak-anak Papua tetaplah optimis sehingga apa yanng apa mereka impikan pada suatu saat tercapai melalui doa dan bekerja keras perjuangan hidup mereka." Orpa
Penulis : Emanuel H.Boga
Posting Komentar