Stop buka kebun sawit di Papua, Poksus DPRP usul buat regulasi Dana Bagi Hasil dari Kebun Sawit di Provinsi Papua
Anggota DPRP yang juga sebagai ketua POKSUS |
Pengantar
Di beberapa daerah di papua, terdapat ratusan hektar bahkan ribuan hektar sawit yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin oleh pemerintah. Penerimaan dari sawit ini selama ini disetor ke pemerintah pusat kepada pemerintah daerah jumlah yang diberikan masih sangat kecil tidak sebanding dengan jumlah sawit dan minyak sawit yang keluar dari pohon sawit ditanam di tanah Papua
Sementara konflik antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit di Papua juga masih terus sering terjadi untuk itu memang menurut kami tidak perlu lagi ada penambahan kebun kebun sawit, kehadiran sawit telah merusak sumber kehidupan masyarakat kehadiran sawit juga telah merusak sumber obat dari masyarakat, kehadiran sawit juga telah membuat banyak daerah pinggiran banjir, hal penting yang harus dilakukan adalah kebun kebun sawit yang ada itu haruslah dipikirkan untuk dapat memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH)
Dalam rangka Menambah pendapatan asli daerah Poksus DPR Papua menyarankan kepada pemerintah provinsi Papua untuk dapat menginisiasi adanya produk hukum daerah bagi hasil kelapa sawit di Provinsi Papua.
Hal itu disampaikan oleh Poksus DPR Papua Dalam pendapat akhir fraksi untuk pembahasan dan penetapan RAPBD PapuaTahun Anggaran 2023
_Sebagian kecil yang ditransfer_
Menurut Wiko Saputra, Penerimaan pajak terdiri atas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea keluar (BK). Sementara PNBP terdiri atas pungutan ekspor (PE) dan penerimaan dari penyaluran benih sawit.
Pada 2018, total penerimaan negara sekitar Rp27 triliun (Kementerian Keuangan, 2018). Meski demikian, hanya sebagian kecil hasil penerimaan negara dari sawit yang ditransfer ke daerah. Misalnya, PBB perkebunan dan PPh pasal 21 (karyawan) dan pasal 25/29 (orang pribadi). PBB perkebunan 90% sudah ditransfer ke daerah, sedangkan PPh pasal 21 dan pasal 25/29 baru 20%. Keduanya pun bukan penerimaan utama dari sektor sawit karena penerimaan terbesar adalah PPh badan dan pungutan ekspor. Padahal, merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebagian besar kewenangan dalam tata kelolanya berada di tangan pemerintah daerah, misalnya, kewenangan dalam perizinan dan pengawasan. Artinya, secara prinsip dasar desentralisasi, kasus ini tidak lazim, karena tidak berfungsinya prinsip money follow function.
Baca juga link dibawa ini
https://nasional.sindonews.com/read/251450/18/dana-bagi-hasil-sawit-1606745481?showpage=all
_Bagaimana di Papua_
Provinsi dan kabupaten kabupaten di Papua tidak cukup hanya menjadi penonton atau hanya memilih menyaksikan dibukanya kebun kebun sawit di Tanah ini tetapi haruslah kebun kebun sawit ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang ada disekitar tetapi juga bagi daerah harus ada DBH Sawit.
Hasil dari dana bagi hasil ( DBH) dari perkebunan kelapa sawit ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau dapat digunakan untuk pengembangan pengembangan masyarakat yang ada di sekitar kebun kebun kelapa sawit dan juga pengembangan pengembangan masyarakat adat dan kampung-kampung yang ada di sekitar kelapa sawit.
_Penutup_
Pemerintah pusat haruslah dapat memberikan payung hukum kepada daerah untuk dapat mengatur dalam regulasi daerah mengenai dana bagi hasil dari perkebunan kelapa sawit, selama ini kita hanya mendengar dana bagi hasil minyak dan gas dana bagi hasil dari tambang dan dari sektor lainnya yang disebut dengan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
Hal ini penting dilakukan untuk menciptakan keadilan bagi seluruh daerah di Papua dan juga di Indonesia yang lainnya yang daerahnya banyak ditanami atau dibuka kebun kebun kelapa sawit, bangun kawasan industri sawit dan ekspor langsung dari Papua agar PPh badan dan pungutan ekspor ditarik oleh Papua
Penulis adalah Anggota DPRP Provinsi Papua
Posting Komentar