Peringati Hari HAM Sedunia Serukan Lawan Segala Bentuk Kekerasan dan Kematian di Papua
Ilustrasi doc.google.com |
Oleh Yunus Gobai*)
Opini - Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III), yang didalamnya memproklamasikan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan keberhasilan semua negara.
Tujuannya, mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang sudah dituangkan dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan terdapat 30 pasal didalamnya.
Peringatan Hari HAM Sedunia ke 75 tahun 2023 ini bertujuan bagaimana melawan segala bentuk kekerasan atasnama apapun. Tulisan kali ini hadir dengan tema yang diangkat, yaitu,‘Melawan Kekerasan Herodes dan Hidup Berdamai dengan Semua Orang". Itu kita harus lawan. Mulai berangkat kekerasan dalam keluarga, marga dengan marga, suku dengan suku, beda ideologi dan lain sebagainya. Semua kekerasan ini kita harus lawan, kita menjunjung tinggi hak-hak hidup sebagai manusia. Itu tujuan kami. Begitu juga dengan isu-isu yang terjadi di Papua yang menurutnya sedang dikeruhkan dengan bebagai macam isu yang menganggu kehidupan manusia dan bertujuan menciptakan terjadinya kekerasan.
Orang Papua untuk menuntut Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi terhadap orang Papua selama 62 tahun terakhir. Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023 merupakan momentum penting untuk seluruh orang Papua menyampaikan pendapat secara terbuka di muka umum. Hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum itu dilindungi Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik.
Data Kasus Pelanggan HAM Tahun 2023 :
Kondisi orang Papua saat ini penuh dengan penderitaan dan penindasan. Hal itu tidak terlepas dari hadirnya kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme di Tanah Papua. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) di Hari HAM Sedunia merilis 56 kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 2023 yang tidak pernah diselesaikan oleh Negara Republik Indonesia hingga saat ini. ALDP merilis 56 kasus Periode Januri hingga Desember 2023. Rentetan kekerasan dan konflik bersenjata yang mengorbankan rakyat sipil, aparat TNI,Porli dan kelompok bersenjata TPNPB.
ALDP mengungkapkan dari 56 Kasus tersebut, 12 diantara disertai dengan peristiwa pengrusahkan sejumlah fasilitas publik termasuk pesawat terbang, sekolah, bandara, Kios dan kantor pemerintahan. Pada kasus tersebut jumlah kasus pengungsi makin bertambah, secara signifikan, berasal dari masyarakat sipil OAP yang jumlahnya sangat besar dan Non- OAP. Moblisasi pengunsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penangan yang serius dari pemerintah.
ALDP merilis data Kasus sejumlah sepanjang tahun 2023 periode Januari hingga Desember sebagai berikut:
"Data Kasus meninggal dunia: (Masyarakat Sipil 44 orang; TNI 22 orang; Porli 5 orang; TPNPB 10 orang;) Data korban luka: (Masyarakat Sipil:37 orang; TNI 4 orang; Porli 22 orang; TPNPB 5 orang. Ditambah lagi, peristiwa penyiksaan (torture), dan pembunuhan diluar hukum (extra judicial killing), stikma dan Intimidasi yang sangat memilukan terhadap masyarakat biasa itu, terjadi banyak peristiwa.
Sejumlah penyiksaan dan pembunuhan pada peristiwa sinakma 23 Februari 2023, Kematian 2 Ibu di Dekai tanggal 11 Oktober 2023, penyerangan pada penambangan ilegal Saradala Yahukimo tanggal 16 Oktober 2023 atau pekerja bangunan puskesmas di kepala Air kabupaten Puncak tanggal 19 Oktober 2023. (Diterbitkan:Edisi 10 Desember 2023 )
Berikut enam kasus pelanggaran HAM yang dicatat resmi Komnas HAM:
Kasus Biak Berdarah Juli 1998:
Kasus Biak Berdarah diduga dilakukan aparat keamanan saat membubarkan pengunjuk rasa yang melakukan aksi damai menuntut referendum di Kota Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua, pada 6 Juli 1998. Sejumlah korban tewas, luka, dan cacat seumur hidup dalam tragedi berdarah tersebut. Kasus ini masih dalam penyelidikan. Komnas HAM Papua Sebut Korban Diinjak TNI Kembali ke Keluarga
Kasus Wasior Berdarah Juni 2001:
Kasus Wasior Berdarah bermula dari terbunuhnya lima anggota Brimob dan warga sipil di Desa Wondiboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001. Kepolisian kemudian mencari pelaku pembunuhan anggota Brimob di Desa Wondiboi dan desa lainnya. Dikabarkan, pencarian pelaku berujung pada kekerasan terhadap penduduk sipil. Sebanyak empat orang tewas dan 39 orang disiksa. Selama 20 tahun berjalan, kasus ini belum mendapat kepastian hukum.
Kasus Wamena Berdarah April 2003
Kasus Wamena Berdarah terjadi ketika masyarakat Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah. Perayaan itu dikejutkan dengan penyisiran kelompok tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat. Buntutnya, aparat TNI Polri melakukan penyisiran di 25 kampung. Dikabarkan Komnas HAM 9 orang meninggal dunia, dan 38 luka berat.
Kasus Universitas Cenderawasih Jayapura Maret 2006:
Tragedi berdarah ini terjadi pada 15 tahun lalu saat mahasiswa Universitas Cenderawasih melakukan aksi menolak keberadaan PT Freeport di Papua. Aksi itu berujung bentrokan mahasiswa dengan polisi. Komnas HAM mencatat peristiwa ini menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Namun belum ada data pasti berapa orang korban dari pihak mahasiswa. Peristiwa ini juga belum mendapat kepastian hukum.
Kasus Paniai Berdarah Desember 2014:
KontraS mencatat peristiwa penembakan pada warga di Paniai, Papua dilakukan oleh aparat TNI dan Polri di lapangan Karel Gobay. Kejadian itu menewaskan empat orang di TKP dan satu orang meninggal dunia saat menjalani perawatan. Kasus ini pun belum pernah menemukan titik teran.
Kasus Oneibo Berdarah 2017:
Kasus dugaan penembakan oleh pihak kepolisian terhadap warga Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Papua, merupakan kasus pelanggaran HAM terbaru yang terjadi pada Agustus 2017. KontraS mencatat peristiwa ini menewaskan satu orang warga yakni Yulius Pigai. Sementara 13 lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa ini juga belum menemukan titik terang.
Data Kasus Kesehatan Tahun 2023
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Papua yang masih membawahi tiga daerah otonomi baru (DOB) hingga Maret2023 tercatat sebanyak 51.408 orang yang terkena HIV-AIDS. Rilis ANTARA di Jayapura, Rabu, 13 September.
Dari jumlah 51.408 tersebut tercatat sebanyak 49.965 kasus yang penularannya berasal dari berganti ganti pasangan. Data kasus HIV-AIDS hingga kini belum dibagi menjadi empat provinsi (DOB) baru sehingga datanya masih mencakup 29 kabupaten dan kota. Tiga provinsi pemekaran dari Provinsi Papua yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan.
Sementara itu dari data Dinkes Papua juga terungkap penularan terbanyak kedua berasal dari ibu ke anak yang mencapai 860 kasus, homoseksual tercatat 237 kasus, biseksual 61 kasus, 46 kasus penularannya melalui tranfusi darah, 23 kasus penularan melalui injection drug use (IDU) dan yang tidak diketahui 216 kasus.
Kasus HIV-AIDS tertinggi tercatat di Kabupaten Nabire tercatat 9.412 kasus, menyusul Kota Jayapura 7.953 kasus, Mimika 7.130 kasus, Jayawijaya tercatat 6.883 kasus, Kabupaten Jayapura 4.533 kasus, Biak 2.904 kasus, Merauke 2.729 kasus, Paniai 2.111 kasus, Kepulauan Yapen 1.661 kasus dan Tolikara 1.177 kasus.
Lalu, di Kabupaten Lanny Jaya 839 kasus, Pegunungan Bintang tercatat 825 kasus, Puncak Jaya 668 kasus, Dogiyai 484 kasus, Keerom 425 kasus, Asmat 327 kasus, Mappi 249 kasus, Boven Digul 214 kasus, Waropen 200 kasus, Supiori 192 kasus, Deiyai 114 kasus, Sarmi 99 kasus, Mamberamo Tengah 84 kasus, Yalimo 76 kasus, Puncak 66 kasus, Yahukimo 22 kasus, Mamberamo Raya 16 kasus, Intan Jaya 14 kasus dan Kabupaten Nduga satu kasus.
Data Kerusahkan dan Ekspolitasi SDA di Papua
Berbagai peristiwa lainnya pun muncul, termasuk kasus pembatasan ruang demonstrasi, pengerahan ribuan aparat keamanan untuk membubarkan aksi demonstrasi damai dan Pembungakan Jurnalis Asing ke Papua dan Ekspolitasi Sumber Daya Alam: ( PT Freeport Indonesia, PT Nabire Baru, Perusahaan Kelapa Sawit, Penambangan Liar di Dageuwo, Blok Wabu, PT Agro Lestari di Timika) dan
Setiap orang Papua merasa diri bagian bangsa Indonesia dan merasa tertindas. Orang Papua menyeruhkan Negara atas kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi selama 62 tahun lebih di Papua.
Semua kekerasan negara terhadap orang Papua menunjukan bahwa tidak ada masa depan orang Papua bersama Indonesia dan menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab seluruh rentetan Pelanggaran HAM di Papua selama 62 tahun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan menghormati hak demokrasi orang lain.
Orang Papua mau negara membuka ruang demokrasi sebesar-besarnya untuk orang Papua, untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dan menghargai sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan serta menyelesaikan Pelanggaran HAM melalui mekanisme Hukum Internasional secara adil dan bermartabat.
Penulis adalah Aktivis Pemuda Katolik, Ketua Komsi HAM di Paroki KSG Wedaumao dan anggota SKP Dekenat Paniai, Keuskupan Timika
Posting Komentar