Masuknya Perusahaan Milik China Di Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai JDRP2 Menyeruhkan 10 tuntutan
Ist PT Zoombolin Milik China Yang sedang beroperasi di Kampung mohodagi distrik Kapiraya kabupaten Deiyai Provinsi Papua Tengah |
(Dilaporkan oleh: Selpius Bobii, Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua – JDRP2)
1. Pengantar
Tanah Air Papua memiliki cadangan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, baik itu Sumber Daya Alam logam maupun non logam. Dunia melirik Tanah Air Papua karena kekayaan alam yang melimpah dan keindahan alam yang indah mempesona.
Ada seorang guru besar yang mengajar disalah satu perguruan tinggi ternama di Israel mengakui kekayaan alam Papua yang berlimpah itu. Pada bulan Februari 2021, profesor itu mengatakan kepada seorang Papua asal Biak yang saat itu berwisata rohani ke Israel: “Kami di Israel sudah tahu bahwa Papua itu sangat kaya di seluruh dunia, kami merekamnya melalui Satelit di Udara dan itu membuktikan bahwa Tuhan Allah taruh semua kekayaan alam di dunia ini, semuanya ada di Tanah Papua”, demikan pengakuan profesor asal Israel.
Bangsa Papua dicaplok ke dalam NKRI atas bantuan Amerika Serikat hanya karena kepentingan ekonomi semata. Setelah bangsa Papua dicaplok ke dalam NKRI, pada tahun 1967 presiden Soeharto menyerahkan Tambang Emas Terbesar yang ada di Mimika kepada Amerika Serikat. Perjanjian Tambang PT Freeport ditanda-tangani pada tahun 1967. Sebelumnya, presiden Soekarno tidak mau menyerahkan Kekayaan Alam Indonesia kepada pihak asing untuk dieksploitasi, tetapi ketika Soeharto mengambil alih posisi Presiden Republik Indonesia, Soeharto membangun kerjasama dengan Negara lain untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam yang ada di wilayah Indonesia.
PT. Freeport adalah perusahaan pertama yang diberikan ijin tambang oleh presiden Soeharto kepada Amerika Serikat dan para sekutunya. Ini bukti bahwa aneksasi Papua ke dalam NKRI bukan semata-mata karena kepentingan politik, tetapi juga kepentingan ekonomi. PT. Freeport Indonesia di Timika adalah lambang kejahatan kemanusiaan, karena hanya karena PT Freeport kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI pada tahun 1960-an. Selain itu, akibat eksploitasi Tambang di Mimika banyak orang asli Papua, khususnya warga yang berdomisili di areal PT Freeport mengalami korban di atas korban, juga alam lingkungan terganggu, bahkan rusak akibat aktivitas tambang.
Ada banyak perusahaan yang masuk di Papua Barat. Dari sekian banyak perusahaan yang masuk beroperasi di tanah air Papua, ada perusahaan yang masuk beroperasi tanpa memiliki ijin dari pemilik hak ulayat; ada pula perusahaan yang masuk beroperasi tanpa memiliki ijin dari pemerintah. Salah satunya adalah Perusahaan Tambang Emas di Distrik Kapiraya yang baru masuk tanpa izin resmi dari pemilik hak ulayat dan Pemerintah.
2. Penebangan Hutan Secara Liar di Kapiraya
Sebagian besar Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Kampung Wakia, Wuwumuka, dan Kapiraya, khususnya kayu besi dan jenis pohon lain yang berkualitas baik dibabat habis oleh PT. Alas Tirta Kencana. Kayu-kayu yang berekonomis itu dibawa keluar dari ketiga Kampung itu. PT. Alas Tirta Kencana (ATK) digantikan oleh PT. Mutiara Alas Katulistiwa setelah mendapat izin dari kementrian terkait pada tahun 2016. Informasi ini perlu dicek kebenarannya: “apakah benar perusahaan kayu itu mendapat izin dari pemilik hak ulayat dan kementrian terkait ataukah illegal?
3. Penemuan Emas di Kampung Wakia dan Sekitarnya
Menurut keterangan warga setempat, pada bulan Januari 2023 emas muncul di permukaan tanah di kampung Magodagi tepatnya di kampung kecil di Wakia. Kampung Wakia berada di perbatasan antara Tanah Adat suku Mee dan suku Komoro. Kampung Mogodagi dihuni oleh Suku Mee. Kampung Mogodagi berada di antara Kampung Wakia dan Kampung Kapiraya. Kampung Mogodagi berada di kilo meter 9 dan berencana masuk di wilayah adminitrasi Deiyai; sementara Kampung Wakia berencana masuk di wilayah adminitrasi Mimika karena di situ dihuni oleh suku Komoro.
Para warga masyarakat dari suku Mee, Komoro, Kei dan Dani/Lani menambang emas secara manual atau dulang secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana sejak bulan Januari 2023. Anehnya adalah bahwa masyarakat asal suku Mee, Komoro dan Dani/Lani diwajibkan membayar tagihan liar berupa uang atau emas kepada oknum tertentu dari suku Kei jika mau dulang emas. Padahal lokasi pendulangan emas berada di wilayah perbatasan suku Komoro dan suku Mee. Hal ini perlu ditertibkan karena lokasi itu bukan milik suku Kei, tetapi tanah milik suku Komoro dan suku Mee.
Setelah satu tahun warga setempat menambang emas dengan peralatan sederhana (tambang tradisional) dibantaran kali di Kampung Wakia, beberapa waktu lalu sudah mulai berdatangan investor atau perusahaan tanpa mengantongi izin dari pemilik hak ulayat. Hanya atas izin lisan dari Kepala Kampung Wakia, PT. Zoomlion ini membawa masuk alat-alat berat tanpa mengantongi izin resmi dari pemilik hak ulayat suku Komoro dan suku Mee serta tanpa izin resmi dari Pemda Kabupaten dan Pemda Propinsi Papua Tengah.
Menurut informasi yang diperoleh bahwa pihak perusahaan ini tidak mengantongi izin dari pemerintah Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai, dan juga tidak ada izin dari dinas terkait di Propinsi Papua Tengah. Para investor itu masuk di Wakia dengan membawa alat berat berupa excavator setelah mengetahui bahwa di Kapiraya ada pendulangan emas. Menurut warga setempat bahwa para investor ini mungkin mendapat informasi melalui para pejabat orang Papua tertentu dan pengusaha non Papua tertentu yang datang ke Kapiraya untuk membeli emas dengan harga yang lebih murah. Hasil dulang emas yang masyarakat jual adalah satu botol aqua dengan harga Rp 50 juta, dan satu gelon 5 liter berisi emas dijual dengan harga Rp 100 juta. Butiran emas yang masyarakat dapat di Kapiraya tidak seperti emas biasa (kecil seperti pasir), tetapi butiran emasnya cukup besar.
Perusahaan masuk secara tiba-tiba di Distrik Kapiraya mungkin karena mereka mengetahui setelah beli emas dari para pejabat Papua tertentu dan pengusaha non Papua tertentu yang pernah jual kembali emas itu ke Luar Negeri, seperti di PNG dan Australia, bahkan kepada orang China yang ada di Papua atau wilayah lain di Indonesia. Setelah satu tahun warga masyarakat dari suku Mee, Komoro, Kei dan Dani/Lani dulang emas secara manual dengan peralatan sederhana, warga dikagetkan dengan masuknya perusahaan dari China yang bernama PT. Zoomlion atau apapun namanya. Pada 8 Mei 2024 ada tiga buah excavator masuk ke Wakia dan kendaraan roda empat lainnya.
Pendulangan emas secara tradisional atau manual tidak hanya di kampung Wakia, tetapi kini sudah beroperasi sampai di gunung Diboukete. Gunung Diboukete berada di wilayah hak ulayat suku Mee. Dari dahulu suku Mee menyebut gunung Diboukete adalah gunung keramat, demikian keterangan dari seorang informan yang didapat dari warga Yamouwitina di Distrik Kapiraya pada 22 Mei 2024.
Tokoh Masyarakat setempat, Antonius Tapipea, ST menyampaikan kepada Koran Papua, pada tanggal 1 April 2024 bahwa lahan kayu di Mimika Barat Tengah, Kampung Wakia, Wuwumuka dan Kapiraya yang menjadi ibu kota Distrik sudah hancur habis-habisan dan sekarang giliran buka tambang emas illegal oleh perusahaan. Anton menyayangkan Tambang Emas Wakia yang selama ini hanya sebatas tambang rakyat dan dikelola dengan peralatan sederhana, kini mulai berubah. Para investor illegal tersebut membawa masuk beberapa alat berat seperti excavator untuk mengeruk sungai yang mengakibatkan kerusakan bantaran sungai dan sekitarnya.
Menurut Anton, kerusakan yang sedang dialami adalah air sungai yang selama ini dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dengan adanya pengerukan sungai itu mengakibatkan air menjadi kabur dan tidak layak untuk konsumsi, sehingga mengalami kekurangan kebutuhan air untuk minum dan masak makanan. Menurut Anton bahwa investor illegal itu hanya mengantongi rekomendasi dari Kepala Kampung, sementara izin dari pemerintah tidak dikantongi artinya perusahaan itu masuk melakukan penambangan emas tanpa mendapat izin dari pemerintah dan juga tidak mendapat izin resmi dari pemilik hak ulayat. Para investor juga tidak pernah duduk bersama dengan pemilik hak ulayat, dan tokoh-tokoh masyarakat Kapiraya, termasuk Lembaga Masyarakat Suku Komoro (LEMASKO) sebagai pemilik hak ulayat di wilayah itu. Menurut Anton, nanti setelah emas di Wakia habis dikerok, nanti akan bergeser pindah ke Kampung Kapiraya dan Wuwumuka Mapuruka, dan alam di sana akan hancur, maka Anton menegaskan bahwa pihak pemerintah segera mengambil tindakan dan menutup perusahaan illegal itu, (sumber: koran papua. id).
4. Tanggapan Pemerintah Propinsi Papua Tengah Atas Masuknya Perusahaan
Tambang Emas di Distrik Kapiraya Frets James Boray, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnakertrans-ESDM) Propinsi Papua Tengah, Senin 1 April 2024 mengatakan bahwa pemerintah Propinsi Papua Tengah belum pernah mengeluarkan izin kepada pihak manapun untuk membuka pertambangan emas di Kampung Wakia, Distrik Mimika Barat Tengah (Kapiraya), Kabupaten Mimika.
Karena belum adanya izin resmi dari Pemerintah, maka aktivitas penambangan di wilayah itu illegal. “Ini illegal, sehingga masyarakat atau siapapun dilarang melakukan kegiatan menambang karena melanggar hukum” demikian kata Frets yang dilansir Koran Papua. Menurutnya, rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung setempat itu tidak kuat,
jadi aktivitas penambangan di Kapiraya itu illegal. Menurut Frets, jika saat ini ada aktivitas penambangan rakyat, maka sesuai aturan hanya boleh menggunakan peralatan biasa, bukan menggunakan alat berat seperti excavator. Sehingga Frets melarang keras kepada siapapun yang mendatangkan excavator untuk melakukan aktivitas penggalian, karena akan berdampak pada kerusakan alam dan itu melanggar undang-undang. Frets juga mengigatkan aparat penegak hukum berani mengambil tindakan untuk menutup aktivitas tambang yang menggunakan alat berat sebelum menimbulkan persoalan yang tidak diinginkan.
Koran Papua. id juga melansir bahwa anggota DPRP, John Gobai dan Pak Frets James Boray pernah turun ke Kapiraya menemui masyarakat untuk meminta rekomendasi dari masyarakat untuk mengurus izin dari Kementrian terkait agar wilayah itu dijadikan konsesi Tambang Rakyat. Frets juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan turun ke Kapiraya untuk menentukan titik koordinat untuk dijadikan Tambang Rakyat, (sumber: Koran Papua. id).
5. Tanggapan DPRD Dogiyai Atas Masuknya Perusahaan Tambang Emas di Kapiraya
Dalam bulan Mei 2024 pihak DPRD Dogiyai juga merespon masuknya perusahaan tambang emas di Kapiraya. Mereka sudah bertemu dengan Pemda Mimika untuk memastikan pemberian izin kepada perusahaan baru yang masuk di Kapiraya. Pihak DPRD Dogiyai juga berencana bertemu dengan Pemda Deiyai dan juga Pemda Propinsi Papua Tengah untuk memastikan „apakah perusahaan itu sudah mendapat izin eksploitasi tambang emas di Distrik Kapiraya ataukah tidak‟.
6. Konflik Internal Suku Mee dan Komoro pada 14 Mei 2022 Karena Perebutan Lokasi Tambang Emas
Detikpapua.com melansir sebuah peristiwa pertikaian antara suku Mee di Kampung Mogodagi dan suku Komoro di Kampung Wakia. Pertikaian antara kedua suku itu terjadi pada 14 Mei 2022. Untuk mendamaikan konflik antara suku Mee dan Komoro itu, Pemda dan DPRD Deiyai bersama Kapolres Deiyai turun ke Kapiraya untuk melakukan kesepakatan damai. Kesepakatan „damai‟ itu dilakukan pada 23 Mei 2022 bertempat di Balai Kampung Mogodagi di Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai.
Kegiatan penyelesaian masalah itu, dibuka oleh Bupati Deiyai, Aten Edowai. Dalam kesempatan itu, bupati Deiyai mengatakan: “dari sejak dahulu kala orang tua kita, baik suku Mee dan suku Komoro sudah hidup bersama dengan rukun dan damai serta menjaga dusun kita dari kepala air sampai di empat muara bagian bawah. Dari dahulu suku Mee dan suku Komoro hidup bersama, makan bersama, menjaga dusun bersama, dan belum pernah ada perang suku. Maka itu tidak boleh ada konflik, tidak boleh pertumpahan darah. Siapapun
tidak boleh merusak dusun ini, tidak boleh ada pihak luar yang merusak alam ini. Semua harus menjaga alam sama-sama; juga tidak boleh orang luar atau suku luar yang datang memimpin di tempat ini, karena kalau orang lain yang memimpin, sudah pasti suku Mee dan suku Komoro akan tersingkir”.
Ketua DPRD Deiyai, Petrus Badokapa pada kesempatan itu menghimbau kepada warga Suku Mee dan Komoro harus bersatu menjaga dusun di di wilayah Kapiraya, jangan sampai orang lain datang dan ambil hasil miliki warga Kapiraya, maka itu Ketua DPDR juga menyampaikan warga Komoro dan Mee harus bersatu untuk menjaga alam Kapiraya.
7. Berikut ini kesepakatan „damai‟ kedua belah pihak antara suku Mee dan Komoro pada tanggal 23 Mei 2022:
- Masyarakat suku Mee Kampung Mogodagi Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai dan Masyarakat suku Komoro Kampung Wakia Kabupaten Mimika menyatakan siap berdamai dalam pertikaian yang telah terjadi pada 14 Mei 2022 tanpa ada rasa dendaman suatu apapun, dan menyatakan tidak akan mengulangi pertikaian serupa dikemudian hari di lokasi yang sama maupum di lokasi yang berbeda.
- Masyarakat suku Mee Kampung Mogodagi Distrik Kapiraya dan Masyarakat suku Komoro Kampung Wakia Kabupaten Mimika yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Mimika menyatakan untuk bersedia bersatu dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah Kampung masing-masing dan tidak akan mendengar atau terhasut dengan pengaruh atau isu-isu dari luar Kampung atau marga manapun yang bertujuan untuk mengacaukan situasi keamanan dan ketertiban warga masyarakat suku Mee dan suku Komoro sebagai pemilik Hak Ulayat atau Tanah Adat gunung dan pantai/pesisir di wilayah ini khususnya Kampung Mogodagi, Kampung Kapiraya dan Kampung Wakia.
- Untuk menghindari terjadinya kembali pertikaian serupa serta menjaga terjadinya erosi/abrasi di Kampung Kapiraya dilokasi yang sama yaitu tempat kejadian perkara kali Kapiraya khususnya di pekarangan rumah dan kebun suku Mee dan Kampung Mogodagi kami kedua belah pihak atau suku setempat untuk sepakat untuk tidak mendulang emas di area tersebut dengan dalil atau apapun.
- Ke depan sebelum dilakukan pendulangan emas maupun pengambilan hasil alam lainnya, harus ada kesepakatan bersama antara masyarakat suku Mee dan masyarakat suku Komoro di bawah naungan Lembaga Adat kedua suku.
- Apabila di kemudian hari terjadi pertikaian serupa, maka akan diproses sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian pernyataan sikap dari kedua suku di Kapiraya. Selama proses kesepakatan berlangsung dari awal hingga berakhirnya dapat berjalan dengan lancar dan aman, (Sumber: detikpapua.com).
8. Masalah Tapal Batas Antara Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai
Hingga sampai bulan Mei 2024 ini, Pemerintah Mimika, Deiyai dan Dogiyai belum menentukan Tapal Batas. Menurut ketua DPRD Deiyai, Petrus Badokapa mengatakan bahwa selama ini sudah melakukan pertemuan berapa kali, bahkan sampai bertemu dengan Menteri Dalam Negeri, tetapi Bupati Deiyai tidak pernah hadir dalam pertemuan untuk menentukan tapal batas, sehingga hingga sampai hari ini belum ada kata sepakat antara pemda Mimika, Dogiyai dan Deiyai. Tapal batas ini juga menjadi masalah di antara ketiga kabupaten ini: Mimika, Deiyai dan Dogiyai.
Sengketa atas tapal batas ini ditanggapi juga oleh seorang intelektual kampung Mogodagi, pak Yanurius Kotouki. Ia menyampaikan bahwa selain isu perusahaan emas dan perusahaan kayu, masalah yang lebih penting juga adalah masalah tapal batas antara Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai. Ia mengatakan bahwa segketa tapal batas ini dapat memicu dampak signifikan antara suku Komoro, Kei dan Mee. Ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam dan langkah tepat dan nyata dari pihak DPRD serta Pemda untuk mengamankan kepentingan ketiga pihak di Kampung Mogodagi, Kampung Kapiraya dan Kampung Wakia.
Yanuarius juga menegaskan bahwa sengketa tapal batas wilayah antara Dogiyai, Deiyai dan Mimika bukan hanya menjadi isu adminitratif, tetapi juga mengancam kerukunan antar suku di wilayah tersebut. “Pantauan kami menunjukkan bahwa masalah ini berpotensi besar mempengaruhi hubungan antar suku Komoro, Kei dan Mee. Oleh karena itu, penting bagi DPRD (- tentu juga dengan pihak pemda) untuk memahami hal ini dengan baik dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengamankan semua pihak”, tegasnya. Ia menyarankan bahwa para pihak harus segera mencari solusi terbaik dan ditangani segera agar masalah tapal batas ini tidak berkembang menjadi konflik horizontal yang lebih luas agar masyarakat setempat di perbatasan itu hidup rukun dan damai - serta menjaga alam tetap Lestari, (sumber: nabire.net).
9. Kesimpulan
Sengketa Tapal Batas antara ketiga kabupaten, yaitu Mimika, Deiyai dan Dogiyai bukan hanya menjadi isu adminitrasi, tetapi juga sedang mengancam kerukunan hidup antara suku-suku yang mendiami di perbatasan ketiga kabupaten di Kapiraya.
Karena tapal batas yang belum tuntas antara ketiga kabupaten itu, sedang berdampak pada perebutan lakosi tambang emas oleh suku Komoro, Kei, Mee, dan ada suku lain yang sudah mulai gabung yaitu suku Dani/Lani. Menurut informasi yang kami peroleh dari Kapiraya bahwa suku Komoro, suku Kei, dan suku Dani/Lani sedang berkoalisi untuk menghadapi suku Mee di Kapiraya.
Selain masalah tapal batas, ada pula masalah perusahaan tambang emas yang masuk di Kapiraya pada beberapa waktu lalu. Perusahaan PT. Zoomlion atau apapun namanya masuk hanya dengan mengantongi rekomendasi dari Kepala Kampung Wakia, bukan atas kesepakatan bersama pemilik hak ulayat dan intelektual suku Komoro dan suku Mee, bukan juga atas izin pemda Kabupaten dan pemda Propinsi Papua Tengah. Jadi perusahaan ini illegal karena belum ada izin resmi dari pemilik hak ulayat dan juga belum memiliki izin dari Pemerintah.
Ada pula pengrusakan alam lingkungan di Kapiraya akibat penebangan hutan secara membabi buta oleh perusahaan kayu yang bernama PT. Mutiara Alas Katulistiwa. Kayu besi dan kayu lain yang berkualitas baik dibabat habis dan diangkut ke luar melalui transportasi laut.
10. Saran dan Rekomendasi
Menurut penelitian lembaga tertentu baik dari dalam Negeri dan luar Negeri, bahwa Propinsi Papua Tengah menyimpan cadangan kekayaan alam yang melimpah. Banyak pihak investor,
baik investor asing maupun investor dari dalam Negeri sudah lama melirik berbagai Sumber Daya Alam yang berada di Propinsi Papua Tengah.
Agar para investor itu masuk menguasai Tanah Air dan Sumber Daya Alam Papua, langkah pertama yang mereka lakukan adalah memecah-belah orang Papua. Mereka mengadu domba keluarga dengan keluarga, marga dengan marga, suku dengan suku yang ada di Tanah Papua melalui berbagai strategi, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satunya adalah menciptakan perang suku.
Para investor (pemilik modal) ini bekerjasama dengan Negara Indonesia untuk menciptakan konflik di antara orang Papua agar secara bebas dan leluasa para investor ini masuk menguasai Tanah Air dan Sumber Daya Alam. Hal ini dilakukan oleh mereka atas dukungan oknum aparat pemerintah tertentu dan aparat keamanan tertentu (BIN, BAIS, BAKIN, TNI, dan POLRI serta ormas-ormas pendukungnya yang hanya mengejar kepentingan pribadi, keluarga dan golongan).
Orang Papua jangan mudah terjebak dengan permainan Negara Indonesia dan para sekutunya atas kerjasama para investor (pemodal) dan aparat TNI, POLRI, BIN, BAIS BAKIN, dan ormas pendukung lainnya untuk mengadu-domba atau memecah-belah orang Papua, agar mereka dengan mudah menguasai Tanah Air dan merampas kekayaan alam Papua serta memusnahkan etnis Papua.
Saran
- Masalah Tapas Batas antara Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai harus segera dibahas dan ditentukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sebelum masalah ini meluas menjadi perang suku antara suku Komoro, Kei, Mee dan Dani/Lani.
- Perusahaan Kayu yaitu PT. Mutiara Alas Katulistiwa atau apapun namanya harus diusir dari Kapiraya karena perusahaan kayu ini sedang merusak hutan dan habitatnya di Kapiraya;
- Perusahaan Tambang Emas illegal yaitu PT. Zoomlion atau apapun namanya harus diusir dari Kapiraya, dan kembalikan Tambang Emas kepada pemilik hak ulayat suku Mee dan suku Komoro sebagai tambang rakyat dengan menggunakan peralatan sederhana (dulang emas tradisonal).
- Oknum-oknum tertentu dari suku lain yang sedang bergabung dengan oknum tertentu dari suku Komoro yang sedang didorong oleh perusahaan illegal, pengusaha illegal dan dari oknum tertentu agar segera berhenti bangun koalisi yang berencana menciptakan konflik horizontal, dan kembalikan masalah ini kepada suku Mee dan Komoro yang berdomisili di Distrik Kapiraya agar diselesaikan di para-para Adat yang difasilitasi oleh Eksekutif, Legislatif, MRPT (Majelis Rakyat Papua Tengah), pimpinan Agama, Dewan Adat Papua, Aktifis Kemanusiaan, serta Aparat Kepolisian.
Rekomendasi
- Segera membentuk Tim Gabungan, baik dari Pemerintah (yaitu Eksekutif, Legislatif, MRPT), Adat, Agama, Aktifis Kemanusiaan, dan Aparat Kepolisian) untuk meninjau langsung di Distrik Kapiraya dan mengundang masyarakat suku Mee dan Komoro yang berdomisili di Kapiraya agar segera berdamai;
- Pihak Majelis Rakyat Papua Tengah (MRPT), Pemda Propinsi Papua Tengah dan DPRP segera mendorong Pemda dan DPRD kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai untuk segera membahas dan menentukan Tapal Batas antara Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai;
- Membentuk Panitia Khusus (PANSUS) untuk melahirkan Perdasus tentang Tambang Rakyat di Papua dengan menggunakan peralatan sederhana oleh pemilik hak ulayat warga asli setempat.
Demikian laporan ini kami buat untuk ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait demi mewujudkan suasana rukun, aman, damai dan sejahtera, khususnya di Distrik Kapiraya.
Dilaporkan dari Deiyai – Papua: Kamis, 23 Mei 2024
Selpius Bobi
Koordinator JDRP2
Posting Komentar